You guys gotta love this video.
I watched it and i really feel the sense of Christmas here.
This Airline knows how to treat their passengers and make them surprise.
well, i guess for them it is the best Christmas ever.
what we got here is not just the gift, but the feeling that we should love each other and the warm heart that want to help and make each other happy.
Happy watching ^^
http://www.godvine.com/What-This-Airline-Did-for-Its-Passengers-Will-Make-You-Tear-Up-So-Heartwarming-4378.html
Monday, December 16, 2013
Saturday, December 14, 2013
Hope
Di sebuah pemukiman kota Washington, tinggallah sekelompok warga yang berprofesi sebagai pelukis.
Salah seorang dari mereka adalah pelukis wanita penderita kanker paru-paru. Dokter menganjurkannya terus menumbuhkan semangat dalam dirinya agar segera sembuh dari penyakitnya.
Wanita itu terus menerus memikirkan penyakitnya dan kehilangan keyakinan. Bahkan ia mengatakan bahwa ketika daun-daun halaman rumahnya gugur, saat itulah dia akan mati.
Suatu hari terjadilah badai yang membuat daun-daun jatuh berguguran. Seorang tetangganya melukis badai itu dengan indah dan menghadiahkan kepadanya.
Wanita itu terkagum-kagum dengan lukisannya yang menggambarkan sebuah pohon mempertahankan satu helai daunnya ditengah badai yang menerpa.
Saat dia membuka jendela, wanita itu terkejut karena apa yang dilihatnya sama persis dengan apa yang ada di lukisan itu.
Akhirnya ia sadar bahwa sikapnya selama ini keliru. Dia selalu pesimis dengan keadaannya sedangkan pohon dengan satu helai daun itu saja memiliki kekuatan untuk bertahan dan memiliki pengharapan untuk bertahan hidup.
Wanita itu pun kemudian berjuang melawan penyakitnya. Lambat laun kesehatannya mulai membaik dan dinyatakan sembuh total.
Demikianlah, dalam kehidupan kita pun sering memiliki harapan. Namun di saat bersamaan, keinginan dan harapan hilang begitu saja karena pikiran negatif dalam diri kita.
Saat itulah semangat kita pun mulai kendor. Jika keadaan ini dibiarkan terus menerus maka kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Tapi justru sebaliknya, kita akan kehilangan kesempatan untuk meraih keberhasilan yang kita inginkan.
Karena itu, jangan biarkan keraguan, ketakutan dan kekuatiran menghambat langkah kita untuk meraih apa yanjg kita impikan. Milikilah pengharapan agar kita mampu melihat dunia dan masa depan dengan penuh kepastian.
Alasan Dokter Negara Maju “Pelit” Memberikan Obat ke Anak
BELUM sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dr. Knol.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection,” kata dokter tua itu.
“Ha? Just wait and see?” batinku meradang.
Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.
“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter di sini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku
.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,
“Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau!
Setibanya di rumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
“Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39 derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!”
Sewaktu praktik menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis. Tibalah saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama. Banyak negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng, kami mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisart.
“Just drink a lot,” katanya ringan.
“Apa nggak perlu dikasih antibiotik, Dok?” tanyaku tak puas.
“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.
Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
“Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak.”
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme dan madu.
Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.
Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.
“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?”
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”
“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,”
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”
“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.
Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.
Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
“Batuk – pilek beserta demam yang terjadi 6 – 12 bulan masih wajar. Observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 – 3 minggu selama bertahun-tahun.”
“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan penanganannya, Pertama, obat diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda ‘dipaksa’ tak pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih baik. Mereka jarang sakit.
Aku tercenung mengingat ‘pengobatan rasional’. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara termasuk Amerika Serikat, dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen tersedia di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama anak demam.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan ketidakmampuan penyakit anak sehari-hari, orang desa relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, cukup berduit, melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.
Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan
Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum, http://ibuhamil.com/ (04)
Forgiveness
Seorang Ibu Guru TK mengadakan "permainan", Ibu Guru menyuruh anak-anak muridnya membawa kantong plastik transparan 1b uah & kentang.
Masing-masing kentang tersebutb diberi nama berdasarkan nama orang yang dibenci. Sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukan berapa, tergantung jumlah orang yang dibenci.
Pada hari yang disepakati masing-masing murid membawa kentang dalam kantong plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5.
Murid-murid harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun, selama 1 minggu.
Hari berganti hari, kentang-kentangpun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap.
Setelah 1minggu murid-murid TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.
Ibu Guru:"Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu, anak-anak?"
Keluarlah keluhan dari murid-murid TK tersebut, pada umumnya mereka tidak merasa nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut kemanapun mereka pergi.
Gurupun menjelaskan apa arti dari "Permainan" yang mereka lakukan.
Ibu Guru:
"Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain.!"
Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemanapun kita pergi.
Itu hanya 1minggu, bagaimana jk kita membawa kebencian itu seumur hidup..?"
Alangkah tidak nyamannya..
Karena itu, lepaskanlah pengampunan kepada orang yang Anda benci.
Karena ketika anda tidak mau mengampuni, anda seperti sedang memegang bola berduri.
Semakin anda tidak mau melepaskan bola berduri itu, anda sendiri yang akan merasakan sakit.
Karena itu tidak ada jalan lain kecuali melepaskan pengampunan. Indahnya jika mampu melepas kebencian dan memberikan pengampunan.
Friday, December 13, 2013
Sombong
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, benih-benihnya kerap muncul tanpa kita sadari.
Di tingkat pertama,sombong disebabkan oleh faktor materi.Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua,sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga,sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik...., Semakin tinggi tingkat kesombongan, Semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Kita ini manusia hanya seperti debu, yang suatu saat akan hilang dan lenyap.
Kesombongan hanya akan membawa kita pada kejatuhan yang dalam.
Di tingkat pertama,sombong disebabkan oleh faktor materi.Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua,sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga,sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik...., Semakin tinggi tingkat kesombongan, Semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Kita ini manusia hanya seperti debu, yang suatu saat akan hilang dan lenyap.
Kesombongan hanya akan membawa kita pada kejatuhan yang dalam.
Cute Animal ♥
Now, this is between animal and animal. How they show their love to each other and how they act. enjoy (again) :D
Animal and Human ♥
This time, i'm gonna post some interactions between animals and humans and you guys gotta see how cute it is. Enjoy :D
Catching Fire
what i doing this few days is reading The Hunger Games Trilogy and now, i'm on my second book now : Catching Fire. Oh God, this book is awesome. i borrowed it from my friend. i must say that THESE BOOKS ARE AMAZING!!!!
I watched this movies and i imagine every single detail that i remember from the movie to this book and i realize there are some parts that they didn't include on the movies. they cut that part and change it, well, just like Harry Potter. They change some parts and i must thankful that i read the book so i know the complete and the original story, not just what i saw on the movies.
I really can't wait till i read Mockingjay. oh Gosh, i can't wait to know how this Hunger Games gonna end. especially when i watched Catching Fire and i don't like the end. it's like "huh? just that? you gonna end the second game just like this?" so... cause i can't wait to know how this Hunger Games gonna end, i decide to read the book and i can't endure not to say "THESE BOOKS ARE AWESOME!!!!!! TOTALLY RECOMMENDED"
You guys must read this book and i must say that im so amazed with how Suzanne Collins, the writer, tell the story.
Sunday, December 8, 2013
Happiness Depends On Ourselves
Jika KEKAYAAN bisa
membuat orang BAHAGIA, tentunya ADOLT MERCKLE, orang TERKAYA dari
JERMAN, tidak akan menabrakkan badannya ke KERETA API...
Jika KETENARAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya MICHAEL JACKSON, penyanyi TERKENAL di USA, tidak akan meminum OBAT TIDUR hingga OVERDOSIS...
Jika KEKUASAAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya G. VARGAS, Presiden BRAZIL, tidak akan menembak JANTUNGNYA...
Jika KECANTIKAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya MARLIN MONROE, artis CANTIK dari USA, tidak akan meminum ALKOHOL dan OBAT DEPRESI hingga OVERDOSIS...
Jika KESEHATAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya THIERRY COSTA, Dokter Terkenal dari PERANCIS, tidak akan membunuh dirinya akibat acara di TELEVISI..
Ternyata, BAHAGIA atau tidaknya hidup seseorang itu, BUKAN ditentukan oleh seberapa KAYANYA, TENARNYA, CANTIKNYA, KUASANYA, SEHATNYA atau SESUKSES apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu BAHAGIA adalah DIRINYA SENDIRI... mampukah ia mau MENSYUKURI semua yang sudah dimilikinya dlm segala hal.
"Kalau KEBAHAGIAAN bisa DIBELI, pasti orang² kaya akan MEMBELI KEBAHAGIAAN itu. Dan kita akan SULIT mendapatkan KEBAHAGIAAN karena sudah DIBORONG oleh mεrεƙα."
"Kalau KEBAHAGIAAN itu ada di suatu TEMPAT, pasti belahan lain di bumi ini akan KOSONG karena semua orang akan kesana berkumpul dimana KEBAHAGIAAN itu berada ."
Untungnya KEBAHAGIAAN itu berada DI DALAM HATI setiap manusia.
Jadi kita tidak perlu MEMBELI atau pergi MENCARI KEBAHAGIAAN itu.
"Yang kita perlukan adalah HATI yang BERSIH dan IKLAS serta PIKIRAN yang JERNIH, maka kita bisa menciptakan rasa BAHAGIA itu kapanpun, dimanapun dan dengan kondisi apapun."
KEBAHAGiAAN itu hanya dimiliki oleh "Orang² yang dapat BERSYUKUR".
¤"JIKA KAMU TIDAK MEMILIKI APA YANG KAMU SUKAI, MAKA SUKAILAH APA YG KAMU MILIKI SAAT INI"¤
BERSYUKUR adalah suatu kemampuan yg bisa DIPELAJARI oleh siapapun.
BERSYUKUR bukanlah hasil dari suatu keadaan tertentu, melainkan hasil dari sebuah LIFE STYLE (GAYA HIDUP)
Jika KETENARAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya MICHAEL JACKSON, penyanyi TERKENAL di USA, tidak akan meminum OBAT TIDUR hingga OVERDOSIS...
Jika KEKUASAAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya G. VARGAS, Presiden BRAZIL, tidak akan menembak JANTUNGNYA...
Jika KECANTIKAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya MARLIN MONROE, artis CANTIK dari USA, tidak akan meminum ALKOHOL dan OBAT DEPRESI hingga OVERDOSIS...
Jika KESEHATAN bisa membuat orang BAHAGIA, tentunya THIERRY COSTA, Dokter Terkenal dari PERANCIS, tidak akan membunuh dirinya akibat acara di TELEVISI..
Ternyata, BAHAGIA atau tidaknya hidup seseorang itu, BUKAN ditentukan oleh seberapa KAYANYA, TENARNYA, CANTIKNYA, KUASANYA, SEHATNYA atau SESUKSES apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu BAHAGIA adalah DIRINYA SENDIRI... mampukah ia mau MENSYUKURI semua yang sudah dimilikinya dlm segala hal.
"Kalau KEBAHAGIAAN bisa DIBELI, pasti orang² kaya akan MEMBELI KEBAHAGIAAN itu. Dan kita akan SULIT mendapatkan KEBAHAGIAAN karena sudah DIBORONG oleh mεrεƙα."
"Kalau KEBAHAGIAAN itu ada di suatu TEMPAT, pasti belahan lain di bumi ini akan KOSONG karena semua orang akan kesana berkumpul dimana KEBAHAGIAAN itu berada ."
Untungnya KEBAHAGIAAN itu berada DI DALAM HATI setiap manusia.
Jadi kita tidak perlu MEMBELI atau pergi MENCARI KEBAHAGIAAN itu.
"Yang kita perlukan adalah HATI yang BERSIH dan IKLAS serta PIKIRAN yang JERNIH, maka kita bisa menciptakan rasa BAHAGIA itu kapanpun, dimanapun dan dengan kondisi apapun."
KEBAHAGiAAN itu hanya dimiliki oleh "Orang² yang dapat BERSYUKUR".
¤"JIKA KAMU TIDAK MEMILIKI APA YANG KAMU SUKAI, MAKA SUKAILAH APA YG KAMU MILIKI SAAT INI"¤
BERSYUKUR adalah suatu kemampuan yg bisa DIPELAJARI oleh siapapun.
BERSYUKUR bukanlah hasil dari suatu keadaan tertentu, melainkan hasil dari sebuah LIFE STYLE (GAYA HIDUP)
Sunday, December 1, 2013
"Lo Siaw Ging: Dokter Tanpa Tarif"
Nama
lengkapnya Lo Siaw Ging, namun ia lebih dikenal dengan panggilan dokter
Lo. Di Solo, Jawa Tengah, dokter keturunan Tionghoa berusia 78
tahun ini populer bukan hanya karena diagnosa dan obat yang
diberikannya selalu tepat, tapi juga karena ia tidak pernah meminta
bayaran dari pasiennya.
Setiap hari, kecuali Minggu, puluhan pasien antre di ruang tunggu prakteknya. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai tukang becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, karyawan swasta, pegawai negeri, hingga pengusaha. Pasiennya tidak hanya datang dari Solo, tetapi juga kota-kota di sekitarnya, seperti Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.
Dokter Lo menjadi istimewa karena tidak pernah memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia justru marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu pasien yang tidak mampu menebus resep. Ia akan menuliskan resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja, RS Kasih Ibu. Alhasil, Lo harus membayar tagihan resep antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar, misalnya, harus menjalani operasi, Lo tidak menyerah. Ia akan turun sendiri untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
“Beruntung masih banyak yang percaya dengan saya, ” kata dia.
Di mata pasien tidak mampu, Lo memang bagaikan malaikat penolong. Ia menjungkirbalikan logika tentang biaya kesehatan yang selama ini sering tak terjangkau oleh pasien miskin. Apa yang dilakukan Lo juga seperti membantah idiom “orang miskin dilarang sakit”.
“Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan, ” kata dia.
Gaya bicaranya tegas cenderung galak. Tidak jarang ia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit. Ia bercerita pernah benar-benar sangat marah kepada seorang ibu karena baru membawa anaknya ke ruang prakteknya setelah mengalami panas tinggi selama empat hari.
“Sampai sekarang masih banyak orang yang bersikap seperti itu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh dengan sendirinya. Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan melakukan diagnosa sendiri, ” ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara itu.
Toh meski galak, Lo tetap dicintai. Ia menjadi rujukan berobat terutama bagi mereka yang tidak mampu. Namun dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini merasa apa yang ia lakukan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. Tidak ada yang istimewa, ” ujar dokter yang buka praktek di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres, Solo.
Dokter Sederhana
Lahir di Magelang, 16 Agustus 1934, Lo tumbuh dalam sebuah keluarga pengusaha tembakau yang moderat. Orang tuanya, Lo Ban Tjiang dan Liem Hwat Nio, memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih apa yang dinginkan. Salah satunya adalah ketika Lo ingin melanjutkan SMA ke Semarang, karena dia menganggap tidak ada SMA yang kualitasnya bagus di Magelang ketika itu.
Setamat SMA, Lo menyatakan keinginannya untuk kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. Rupanya, nasehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu, menurut Lo, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, lebih baik menjadi pedagang. .
”Jadi siapa pun pasien yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayani dengan baik. Membantu membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, bukan menjual obat, ” ujar suami dari Gan May Kwee ini.
Menjadi dokter sejak 1963, Lo mengawali karir dokternya di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing (1903-1982), seorang dokter legendaris di Solo. Pada masa orde baru, poliklinik ini berkembang menjadi RS Panti Kosala, dan kini berganti nama menjadi RS Dr Oen.
Selain dari ayahnya, Lo mengaku banyak belajar dari Dr Oen. Selama 15 tahun bekerja pada seniornya itu, Lo mengerti benar bagaimana seharusnya menjadi seorang dokter.
”Dia tidak hanya pintar mengobati, tetapi juga sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa, ” kata mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Apa yang dikatakan Lo tentang membantu siapa pun yang membutuhkan itu bukanlah omong kosong. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 lalu misalnya, Lo tetap buka praktek. Padahal para tetangganya meminta agar dia tutup karena situasi berbahaya, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo tetap menerima pasien yang datang. Para tetangga yang khawatir akhirnya beramai-ramai menjaga rumah Lo.
“Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang akan menolong mereka?” kata Lo yang juga lulusan Managemen Administrasi Rumah Sakit (MARS) dari Universitas Indonesia.
Hingga kerusuhan berakhir dan situasi kembali aman, rumah Lo tidak pernah tersentuh oleh para perusuh. Padahal rumah-rumah di sekitarnya banyak yang dijarah dan dibakar.
Kini, meski usianya sudah hampir 80 tahun, Lo tidak mengurangi waktunya untuk tetap melayani pasien. Setiap hari, mulai pukul 06. . 00 sampai 08. 00, dia praktek di rumahnya. Selanjutnya, pukul 09. 00 hingga pukul 14. 00, Lo menemui para pasiennya di RS Kasih Ibu. Setelah istirahat dua jam, ia kembali buka praktek di rumahnya sampai pukul 20. 00.
“Selama saya masih kuat, saya belum akan pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu sesama, dan itu tidak bisa dibayar dengan uang, ” ujar dokter yang sejak beberapa tahun lalu berjalan dengan bantuan tongkat ini.
Menurut Lo, istrinya memiliki peran besar terhadap apa yang ia lakukan. Tanpa perempuan itu, kata Lo, ia tidak akan bisa melakukan semuanya.
“Dia perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya, ” ujar Lo tentang perempuan yang ia nikahi tahun 1968 itu.
Puluhan tahun menjadi dokter, dan bahkan pernah menjadi direktur sebuah rumah sakit besar, kehidupan Lo tetap sederhana. Bersama istrinya, ia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah yang megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka yang membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia seperti sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain, ” kata Lo yang selama 43 tahun perikahannya dengan Gan May Kwee tidak dikaruniai anak.
Di tengah biaya obat-obatan yang mahal, pelayanan rumah sakit yang sering menjengkelkan, dan dokter yang lebih sering mengutamakan materi, keberadaan Lo memang seperti embun yang menyejukkan. Rasanya, sekarang ini tidak banyak dokter seperti Dr Lo.
Menengok sejarah Solo, yang dalam perjalanan waktu penuh intrik, peperangan dan kerusuhan, Dr Lo bagaikan oase di tengah gurun nan gersang,
Sumber: http://solografi.com/2013/11/16/lo-siaw-ging-dokter-tanpa-tarif/
Setiap hari, kecuali Minggu, puluhan pasien antre di ruang tunggu prakteknya. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai tukang becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, karyawan swasta, pegawai negeri, hingga pengusaha. Pasiennya tidak hanya datang dari Solo, tetapi juga kota-kota di sekitarnya, seperti Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.
Dokter Lo menjadi istimewa karena tidak pernah memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia justru marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu pasien yang tidak mampu menebus resep. Ia akan menuliskan resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja, RS Kasih Ibu. Alhasil, Lo harus membayar tagihan resep antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar, misalnya, harus menjalani operasi, Lo tidak menyerah. Ia akan turun sendiri untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
“Beruntung masih banyak yang percaya dengan saya, ” kata dia.
Di mata pasien tidak mampu, Lo memang bagaikan malaikat penolong. Ia menjungkirbalikan logika tentang biaya kesehatan yang selama ini sering tak terjangkau oleh pasien miskin. Apa yang dilakukan Lo juga seperti membantah idiom “orang miskin dilarang sakit”.
“Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan, ” kata dia.
Gaya bicaranya tegas cenderung galak. Tidak jarang ia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit. Ia bercerita pernah benar-benar sangat marah kepada seorang ibu karena baru membawa anaknya ke ruang prakteknya setelah mengalami panas tinggi selama empat hari.
“Sampai sekarang masih banyak orang yang bersikap seperti itu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh dengan sendirinya. Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan melakukan diagnosa sendiri, ” ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara itu.
Toh meski galak, Lo tetap dicintai. Ia menjadi rujukan berobat terutama bagi mereka yang tidak mampu. Namun dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini merasa apa yang ia lakukan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. Tidak ada yang istimewa, ” ujar dokter yang buka praktek di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres, Solo.
Dokter Sederhana
Lahir di Magelang, 16 Agustus 1934, Lo tumbuh dalam sebuah keluarga pengusaha tembakau yang moderat. Orang tuanya, Lo Ban Tjiang dan Liem Hwat Nio, memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih apa yang dinginkan. Salah satunya adalah ketika Lo ingin melanjutkan SMA ke Semarang, karena dia menganggap tidak ada SMA yang kualitasnya bagus di Magelang ketika itu.
Setamat SMA, Lo menyatakan keinginannya untuk kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. Rupanya, nasehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu, menurut Lo, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, lebih baik menjadi pedagang. .
”Jadi siapa pun pasien yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayani dengan baik. Membantu membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, bukan menjual obat, ” ujar suami dari Gan May Kwee ini.
Menjadi dokter sejak 1963, Lo mengawali karir dokternya di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing (1903-1982), seorang dokter legendaris di Solo. Pada masa orde baru, poliklinik ini berkembang menjadi RS Panti Kosala, dan kini berganti nama menjadi RS Dr Oen.
Selain dari ayahnya, Lo mengaku banyak belajar dari Dr Oen. Selama 15 tahun bekerja pada seniornya itu, Lo mengerti benar bagaimana seharusnya menjadi seorang dokter.
”Dia tidak hanya pintar mengobati, tetapi juga sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa, ” kata mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Apa yang dikatakan Lo tentang membantu siapa pun yang membutuhkan itu bukanlah omong kosong. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 lalu misalnya, Lo tetap buka praktek. Padahal para tetangganya meminta agar dia tutup karena situasi berbahaya, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo tetap menerima pasien yang datang. Para tetangga yang khawatir akhirnya beramai-ramai menjaga rumah Lo.
“Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang akan menolong mereka?” kata Lo yang juga lulusan Managemen Administrasi Rumah Sakit (MARS) dari Universitas Indonesia.
Hingga kerusuhan berakhir dan situasi kembali aman, rumah Lo tidak pernah tersentuh oleh para perusuh. Padahal rumah-rumah di sekitarnya banyak yang dijarah dan dibakar.
Kini, meski usianya sudah hampir 80 tahun, Lo tidak mengurangi waktunya untuk tetap melayani pasien. Setiap hari, mulai pukul 06. . 00 sampai 08. 00, dia praktek di rumahnya. Selanjutnya, pukul 09. 00 hingga pukul 14. 00, Lo menemui para pasiennya di RS Kasih Ibu. Setelah istirahat dua jam, ia kembali buka praktek di rumahnya sampai pukul 20. 00.
“Selama saya masih kuat, saya belum akan pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu sesama, dan itu tidak bisa dibayar dengan uang, ” ujar dokter yang sejak beberapa tahun lalu berjalan dengan bantuan tongkat ini.
Menurut Lo, istrinya memiliki peran besar terhadap apa yang ia lakukan. Tanpa perempuan itu, kata Lo, ia tidak akan bisa melakukan semuanya.
“Dia perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya, ” ujar Lo tentang perempuan yang ia nikahi tahun 1968 itu.
Puluhan tahun menjadi dokter, dan bahkan pernah menjadi direktur sebuah rumah sakit besar, kehidupan Lo tetap sederhana. Bersama istrinya, ia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah yang megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka yang membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia seperti sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain, ” kata Lo yang selama 43 tahun perikahannya dengan Gan May Kwee tidak dikaruniai anak.
Di tengah biaya obat-obatan yang mahal, pelayanan rumah sakit yang sering menjengkelkan, dan dokter yang lebih sering mengutamakan materi, keberadaan Lo memang seperti embun yang menyejukkan. Rasanya, sekarang ini tidak banyak dokter seperti Dr Lo.
Menengok sejarah Solo, yang dalam perjalanan waktu penuh intrik, peperangan dan kerusuhan, Dr Lo bagaikan oase di tengah gurun nan gersang,
Sumber: http://solografi.com/2013/11/16/lo-siaw-ging-dokter-tanpa-tarif/
"Teori fondasi rumah tangga 1+1=1"
Bagus untuk yang sudah menikah atau akan merencakan pernikahan.
Mengapa ada banyak pernikahan yg gagal/tidak bahagia? Tentu penyebabnya ada banyak faktor, salah satunya ialah fondasi dari rumah tangga yang mereka dirikan rapuh.
Alasan yang paling umum orang menikah ialah karena telah cukup umur dan suka sama suka. Alasan lain karena faktor 'kecelakaan', bisnis, tekanan ekonomi, tradisi, kebutuhan biologis, desakan orang tua, dll.
Pernikahan bukanlah 1+1=2, melainkan 1+1=1.
1+1=1 adalah hal impossible, kecuali pasangan ini bersedia masing-masing mngurangi ½ egonya menjadi ½+½=1.
Setelah menikah, suami-istri harus menghilangkan separuh dari watak individual masing-masing, setiap pasangan harus memiliki persiapan mental untuk dapat melakukan kompromi, saling mengalah dan memaafkan. Dengan demikian, baru dapat membentuk sebuah mahliga rumah tangga yang sempurna.
Namun ada sekelompok golongan yang pernikahannya mengharuskan 1+0=1, maksudnya istri harus tunduk total pada suaminya tanpa menghiraukan seluruh hak-hak kaum wanita.
Sebaliknya ada laki-laki yang terpaksa tunduk pada istriya habis-habisan karena istri lebih mapan dalam hal pendidikan & ekonomi.
Tentu saja kelompok 1+0=1 merupakan pernikahan yang tidak sehat.
Pernikahan yang bahagia adalah penyatuan dua orang yang bersedia saling memaafkan dan menerima apa adanya.
Agar perkawinan anda tetap meluap dengan kasih, maka kalau anda salah, akuilah dan minta maaf. Dan jika anda benar, tetaplah diam dan memaafkan. Selalu mencintai dengan tulus dan sepenuh hati, itulah kunci untuk bahagia.
Rahasia menjadi pasangan suami istri yg bahagia sesungguhnya tidak pernah dapat diajarkan, tetapi harus terus belajar dan belajar. Yang paling menyenangkan dalam suatu pernikahan adalah bangun cinta lagi setiap hari kepada pasangan kita.
"Dinamika Kehidupan"
Bahwa
sepanjang hidup ini, manusia selalu mencari untuk mendapatkan. Sejak
kecil kita diajarkan untuk mencari ilmu untuk mendapatkan gelar
pendidikan. Kemudian dengan gelar tersebut, mencari pekerjaan untuk
mendapatkan uang. Mencari pasangan hidup, mendapatkan keturunan, mencari pangkat, nama, jabatan, kesenangan-kesenangan lainnya.
Tapi pernahkah kita sadari, bahwa saat kita meninggal, maka apapun yang tadinya kita CARI dan kita DAPATKAN, harus kita tinggalkan. Apa yang kita cari dan kita kejar sepanjang hidup kita, dengan susah payah, semuanya akhirnya harus ditinggalkan. Tidak satu pun yang dapat kita bawa. Tidak ada harta yang bisa dibawa , Juga tidak anak istri atau kerabat, tidak juga jabatan. Lalu bagaimana?
Apa yang bisa kita bawa dan menjadi bekal untuk kehidupan kita selanjutnya?
Jawabannya sangat mengejutkan . yang dapat kita bawa adalah "PEMBERIAN" Apapun yang kita berikan, yang kita danakan, yang kita relakan untuk kebahagiaan mahluk lain, itulah yang bisa kita bawa. Kebajikan itulah yang akan menjadi harta dan bekal kita dikehidupan kita selanjutnya dialam “sana”. Dana yang kita bagikan bagi orang miskin, baju yang kita sumbangkan bagi korban bencana alam, makanan yang kita bagi untuk mereka yang kelaparan, kesempatan yg kita berikan pada hidup orang lain dan sesuatu yang bisa kita berikan bagi makhluk lain, dsbnya.
Pemberian-pemberian inilah yang justru merupakan HARTA PUSAKA kita yang tidak bisa dicuri, tidak bisa hancur, tidak bisa hilang, dan bisa mengikuti kita sampai pada Akhirnya .
Marilah kita renungkan bersama. Apakah sudah cukup kita MEMBERI dari hasil yg kita cari , ataukah kita hanya selalu sibuk MENCARI , MENCARI DAN MENCARI SAJA .... ? Jika kita hanya bisa ”Mencari” tanpa bisa ”Memberi”, coba dipikirkan lagi apakah ada gunanya semua yang anda cari karena semua itu Harus ditinggalkan. Apa gunanya semua yang anda cari jika semua itu tidak dapat dibawa sebagai Bekal kita waktu mati? Sia-sia bukan?
Semoga kita semakin mengerti ARTI Memberi
Tapi pernahkah kita sadari, bahwa saat kita meninggal, maka apapun yang tadinya kita CARI dan kita DAPATKAN, harus kita tinggalkan. Apa yang kita cari dan kita kejar sepanjang hidup kita, dengan susah payah, semuanya akhirnya harus ditinggalkan. Tidak satu pun yang dapat kita bawa. Tidak ada harta yang bisa dibawa , Juga tidak anak istri atau kerabat, tidak juga jabatan. Lalu bagaimana?
Apa yang bisa kita bawa dan menjadi bekal untuk kehidupan kita selanjutnya?
Jawabannya sangat mengejutkan . yang dapat kita bawa adalah "PEMBERIAN" Apapun yang kita berikan, yang kita danakan, yang kita relakan untuk kebahagiaan mahluk lain, itulah yang bisa kita bawa. Kebajikan itulah yang akan menjadi harta dan bekal kita dikehidupan kita selanjutnya dialam “sana”. Dana yang kita bagikan bagi orang miskin, baju yang kita sumbangkan bagi korban bencana alam, makanan yang kita bagi untuk mereka yang kelaparan, kesempatan yg kita berikan pada hidup orang lain dan sesuatu yang bisa kita berikan bagi makhluk lain, dsbnya.
Pemberian-pemberian inilah yang justru merupakan HARTA PUSAKA kita yang tidak bisa dicuri, tidak bisa hancur, tidak bisa hilang, dan bisa mengikuti kita sampai pada Akhirnya .
Marilah kita renungkan bersama. Apakah sudah cukup kita MEMBERI dari hasil yg kita cari , ataukah kita hanya selalu sibuk MENCARI , MENCARI DAN MENCARI SAJA .... ? Jika kita hanya bisa ”Mencari” tanpa bisa ”Memberi”, coba dipikirkan lagi apakah ada gunanya semua yang anda cari karena semua itu Harus ditinggalkan. Apa gunanya semua yang anda cari jika semua itu tidak dapat dibawa sebagai Bekal kita waktu mati? Sia-sia bukan?
Semoga kita semakin mengerti ARTI Memberi
It's Depend On Us
Pernahkah
anda dimaki-maki oleh seseorang dengan menggunakan bahasa yang tidak
anda pahami ?? Anda tahu kalau sedang dimarahi, tetapi tidak merasa
sakit hati, (hanya bingungkan ?).
Kemudian,,,,, Anda bertanya kepada orang lain untuk menterjemahkan, tentang apa yang dikatakan orang yang sedang marah, Begitu tahu,,,,,, Saat itulah anda mulai sakit hati,,,
Sebenarnya,,,,, Anda punya 3 pilihan pada kondisi seperti itu : ~ Memilih untuk tidak peduli kepada si pemarah, sehingga tidak merasakan sakit hati. ~ Tetap berusaha mencari tahu tentang apa yang disampaikan, tetapi ditanggapi dengan acuh, ~ Mencari tahu maksud dari sipemarah & anda membalas dengan penuh rasa sakit hati.
Ingat :,,,, Sakit hati atau tetap memilih rasa nyaman di hati adalah tanggung jawab anda sendiri.
Kita sendirilah yang berhak memutuskan untuk sakit hati atau tidak (orang lain tidak punya Hak untuk mengendalikan kita).
Siapapun orangnya tidak akan mampu menyakiti hati anda, Jika anda tidak mengijinkan sendiri.
Kemudian,,,,, Anda bertanya kepada orang lain untuk menterjemahkan, tentang apa yang dikatakan orang yang sedang marah, Begitu tahu,,,,,, Saat itulah anda mulai sakit hati,,,
Sebenarnya,,,,, Anda punya 3 pilihan pada kondisi seperti itu : ~ Memilih untuk tidak peduli kepada si pemarah, sehingga tidak merasakan sakit hati. ~ Tetap berusaha mencari tahu tentang apa yang disampaikan, tetapi ditanggapi dengan acuh, ~ Mencari tahu maksud dari sipemarah & anda membalas dengan penuh rasa sakit hati.
Ingat :,,,, Sakit hati atau tetap memilih rasa nyaman di hati adalah tanggung jawab anda sendiri.
Kita sendirilah yang berhak memutuskan untuk sakit hati atau tidak (orang lain tidak punya Hak untuk mengendalikan kita).
Siapapun orangnya tidak akan mampu menyakiti hati anda, Jika anda tidak mengijinkan sendiri.
Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”
Setiap
acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah
seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan
adalah pribadi yang unik, tetapi tidak
selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi
pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya
kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan
mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada
dosen dan teman-teman civitas academica.
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: http://archive.lewrockwell.com/pr/valedictorian-against-schooling.html
Untuk melihat link video youtubenya -> http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: http://archive.lewrockwell.com/pr/valedictorian-against-schooling.html
Untuk melihat link video youtubenya -> http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts
"Hikmah dari Memberikan Pelayanan Terbaik" (Bagus Banget, Dibaca Yah)
Di Victoria British Columbia, ada satu SPBU milik pebisnis sekaligus motivator bernama Dunsmuir.
Meski hanya SPBU, tapi SPBU ini sangat terkenal dan maju. Sebagian besar SPBU di AS adalah self service, tetapi di SPBU milik Dunsmuir, ada 4 orang pekerja yang melayani setiap mobil yang datang.
Pekerja 1 membukakan pintu dan mempersilakan penumpangnya keluar, kemudian memakai penyedot debu untuk membersihkan bangku dan interior mobil.
Pekerja 2 membuka kap mobil untuk mengecek olinya.
Pekerja 3 mengisi tangki bahan bakar sambil membersihkan semua kaca jendela mobil.
Pekerja 4 mengecek ban mobil. Semua dilakukan dengan ramah dan bersahabat.
Kebanyakan pekerja itu adalah anak2 muda. Menjadi petugas pompa bensin tentu bukan profesi idaman karena bukan pekerjaan bergaji tinggi.
Namun Mr. Dunsmuir selalu menekankan bahwa sangat mungkin pengemudi mobil yang mereka layani adalah calon bos mereka.
Artinya, jika mereka melayani dengan baik dan bersemangat, itu akan menjadi promosi yang baik. Faktanya memang demikian, banyak dari pekerja SPBU itu kemudian direkrut oleh para bos yang terkesan dengan etos kerja mereka.
Hal itupun memotivasi para pekerja untuk selalu melayani dengan prima, dan SPBU itu seolah menjadi batu loncatan dan "kampus" kehidupan mereka.
Tak heran, SPBU itu selalu kebanjiran pelamar. Dan reputasi SPBU dengan pelayanan istimewa itu juga membuatnya selalu laris.
Yang tak kalah menarik, para mantan pegawai Mr. Dunsmuir juga kemudian selalu mengisi bahan bakar di situ.
Kunci suksesnya adalah EXCELLENT SERVICE dan MOTIVASI YANG MENYALA.
Sahabatku, hal itu juga berlaku bagi setiap kita.
Walaupun pekerjaan yang kita kerjakan saat ini bukan pekerjaan Impian kita, tapi jika itu kita lakukan dengan sebaik-baiknya & yang terutama adalah dengan KASIH, itu akan membawa kita ke PROMOSI yang sesungguhnya !!
Anda tidak akan pernah rugi jika memberi pelayanan terbaik!
Menolong orang lain berarti menolong diri sendiri
Meski hanya SPBU, tapi SPBU ini sangat terkenal dan maju. Sebagian besar SPBU di AS adalah self service, tetapi di SPBU milik Dunsmuir, ada 4 orang pekerja yang melayani setiap mobil yang datang.
Pekerja 1 membukakan pintu dan mempersilakan penumpangnya keluar, kemudian memakai penyedot debu untuk membersihkan bangku dan interior mobil.
Pekerja 2 membuka kap mobil untuk mengecek olinya.
Pekerja 3 mengisi tangki bahan bakar sambil membersihkan semua kaca jendela mobil.
Pekerja 4 mengecek ban mobil. Semua dilakukan dengan ramah dan bersahabat.
Kebanyakan pekerja itu adalah anak2 muda. Menjadi petugas pompa bensin tentu bukan profesi idaman karena bukan pekerjaan bergaji tinggi.
Namun Mr. Dunsmuir selalu menekankan bahwa sangat mungkin pengemudi mobil yang mereka layani adalah calon bos mereka.
Artinya, jika mereka melayani dengan baik dan bersemangat, itu akan menjadi promosi yang baik. Faktanya memang demikian, banyak dari pekerja SPBU itu kemudian direkrut oleh para bos yang terkesan dengan etos kerja mereka.
Hal itupun memotivasi para pekerja untuk selalu melayani dengan prima, dan SPBU itu seolah menjadi batu loncatan dan "kampus" kehidupan mereka.
Tak heran, SPBU itu selalu kebanjiran pelamar. Dan reputasi SPBU dengan pelayanan istimewa itu juga membuatnya selalu laris.
Yang tak kalah menarik, para mantan pegawai Mr. Dunsmuir juga kemudian selalu mengisi bahan bakar di situ.
Kunci suksesnya adalah EXCELLENT SERVICE dan MOTIVASI YANG MENYALA.
Sahabatku, hal itu juga berlaku bagi setiap kita.
Walaupun pekerjaan yang kita kerjakan saat ini bukan pekerjaan Impian kita, tapi jika itu kita lakukan dengan sebaik-baiknya & yang terutama adalah dengan KASIH, itu akan membawa kita ke PROMOSI yang sesungguhnya !!
Anda tidak akan pernah rugi jika memberi pelayanan terbaik!
Menolong orang lain berarti menolong diri sendiri
Subscribe to:
Posts (Atom)